Welcome Message

Mengapa kita hidup di dunia ini? Untuk apakah kita hidup di dunia ini? Pertanyaan mendasar yang jawabannya akan menentukan cara kita hidup, dan bagaimana kita hidup. Apakah bermakna atau sia-sia...

twitter

Follow on Tweets

Tahapan Kedewasaan

Posted in


Beberapa hari yang lampau, saya sedang nonton film yang dibintangi Will Smith yang judulnya kalau tidak salah "The Pursuit Of Happyness". Salah satu adegan, menceritakan Will Smith sedang di Gereja bersama para tunawisma yang lain, dan para pemuji yang bertugas menyanyi "Tuhan jangan singkirkan gunung (masalah) itu, tapi berikan kekuatan untuk mendakinya"


Eh dari sana jadi mikir, bahwa dalam menghadapi masalah akan terlihat tahapan-tahapan kedewasaan seseorang. Coba kita lihat apa aja sih tahapan-tahapan tersebut, dan kita akui dengan jujur ada di tahapan mana diri kita.

1. "Tuhan tolong singkirkan masalah saya ini, saya gak sanggup Tuhan"

Ini bisa dibilang baby rohani ya. Sangat menyayangi dirinya sendiri secara salah, jika seseorang mash menyayangi diri sendiri secara salah, ia tidak akan bisa menyayangi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.

2. "Tuhan tolong berikan kekuatan agar saya dapat menyelesaikan masalah ini"

Sudah lebih baik dari yang pertama, namun IMHO fokusnya masih kepada diri sendiri, bagaimana agar masalahnya selesai dan hidup nyaman di dunia ini seperti anak-anak dunia lainnya. Masih menyayangi dirinya sendiri.

3. "Tuhan terima kasih untuk masalah ini, karena saya tahu Bapa membentuk saya melalui masalah ini. Inilah salah satu wujud kasih Bapa kepada saya”.


Ini, IMHO, sudah lebih baik dibanding kedua tahapan sebelumnya. Masalah yang dialami sudah dimengerti sebagai kasih Tuhan kepada dirinya.

4. “Tuhan, saya mau memikirkan, mencari dan memikul semua hal yang menjadi beban dan masalah-Mu. Saya mau hidup saya berguna bagi-Mu”.


Ini tahapan yang lebih maju dari sebelumnya, dirinya bersedia memikul semua hal yang menjadi beban Tuhan. Adapun, beban Tuhan adalah keselamatan jiwa-jiwa manusia. Keselamatan sendiri adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya yang semula, yang dicontohkan dengan sangat sempurna oleh Tuhan Yesus Kristus.


Sumber gambar: Google.com

Binatang Dalam Diri Manusia

Posted in


Akhir-akhir ini saya sedang hobi baca buku-buku sejarah kuno dan film-film yang memotret kondisi masyarakat di masa kuno itu. Salah satu buku berjudul “Sejarah Gelap Kaisar Roma”, di dalamnya menggambarkan cukup banyak kondisi masyarakat saat itu. Mungkin sudah umum diketahui bahwa yang namanya acara “Gladiator” (pertarungan hidup mati antara sesama petarung) adalah hal yang umum saat itu, saat nyawa menjadi tidak berharga karena dianggap hanya sebagai hiburan semata. Begitu pula yang namanya free sex bukanlah hal yang tabu bagi masyarakat saat itu, kalau tidak mau dibilang sebagai suatu kewajaran. Perbudakan, perdagangan manusia, dan intinya eksploitasi nilai-nilai kemanusiaan yang sangat rendah, adalah hal yang wajar dan sah saja saat itu.  

Apakah hal-hal ini masih terjadi saat ini? Masih, lihat saja kasus Mesuji, Bima, atau Cikeusik. Saat manusia memuaskan hasrat binatangnya untuk menjadi predator bagi sesamanya. Cuma karena pengetahuan saat ini lebih baik dibandingkan zaman kuno dulu, maka hal-hal yang disebutkan di paragraph 1 bisa dibilang tidak diakui sebagai hal yang wajar bagi manusia umumnya. Meskipun tidak diakui bukan berarti hal-hal itu tidak terjadi, tetap terjadi, namun tidak secara terang benderang, tercium namun tidak (atau enggan?) dibuktikan.

Jadi perhatikan saja, dari masa ke masa, hasrat binatang manusia selalu mempunyai tempat dalam masyarakat. Memang kenyataan bahwa di dalam diri manusia yang sudah berdosa ini terdapat naluri dan sifat-sifat kebinatangan. Contoh-contoh yang disebutkan pada paragraph sebelumnya mungkin adalah contoh yang ekstrim, namun kejadian-kejadian seperti: Mengingini hak/barang/milik orang lain, menjegal rekan kerja di kantor demi promosi, bergosip, memfitnah, membicarakan keburukan orang lain, poligami, memiliki PIL/WIL, cari muka di kantor/sekolah, ingin dipuji orang lain, ingin dianggap hebat orang lain, ingin didewakan orang lain, dan lainnya yang dapat kita sebutkan umum terjadi dalam keseharian hidup manusia. Semua itu adalah salah satu sifat dan naluri binatang yang berada dalam diri kita.

Melihat kenyataan itu, bisa dibayangkan betapa agungnya mahluk yang bernama manusia itu jika tidak jatuh dalam dosa. Betapa luar biasa tingginya nilai moral dan kesucian manusia yang telah dirancang oleh Tuhan, seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa. Maka adalah hal yang sangat tidak berlebihan Alkitab menyatakan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah. Memang manusia itu dirancang untuk menjadi mahluk yang tinggi, mahluk yang agung, yang keagungannya menyerupai Allah. Dan sungguh tidak berlebihan juga Tuhan Yesus berkata bahwa “kita harus sempurna sama seperti Bapa di Surga adalah sempurna” (Mat. 5:48).


Can I Ask For Help?

Posted in


Kemarin baru saja mendengar khotbah PA Suara Kebenaran, Pdt. DR. Erastus Sabdono menyinggung soal arti kesetiaan yang sejati. Dan dari sana pemikiran saya berkembang seperti tulisan saya di bawah ini.

Kesetiaan yang sejati adalah pengorbanan tanpa batas untuk Tuhan. Untuk itu seseorang harus tidak menyayangkan nyawanya sendiri/bersedia melepaskan segalanya untuk memuaskan hati Tuhan. Tidak mencintai dan menyayangkan nyawa kita sendiri berarti kita mengasihi diri kita sendiri secara benar (ingin masuk ke dalam hidup kekal), sementara dengan mencintai dan menyayangkan nyawa kita sendiri berarti kita mengasihi diri kita sendiri secara salah (tidak peduli akan nasib di kekekalan nanti harus masuk ke dalam kebinasaan kekal, yang penting senang-senang dalam kehidupan hari ini).

Pada suatu titik, kita akan merasa bahwa tidak boleh meminta pertolongan kepada Tuhan untuk masalah-masalah jasmani seberapa pun beratnya. Mengapa?

Jika kita meminta tolong kepada Tuhan untuk masalah-masalah jasmani berarti kita masih mencintai dan menyayangkan nyawa/diri kita sendiri artinya mengasihi diri sendiri secara salah. Jika kita masih mengasihi diri sendiri secara salah, pasti kita tidak bisa mengasihi Tuhan dengan benar dan maksimal.

Huff....berat banget ya. Lebih mudah untuk dipikirkan dan dikatakan dibandingkan dilakukan dalam hidup ini. Namun karena sudah mengetahui arahnya, maka mari kita berusaha keras menuju ke sana.


Sumber gambar: http://28digits.com

Tidak Bisa Mengabdi Kanan Dan Kiri

Posted in

Pembaca budiman,



Pernah gak merasakan timbulnya keinginan diri yang sangat hebat, menuntut untuk dipenuhi? Saya pernah lho, padahal ketika itu saya dalam kondisi yang (menurut saya) jernih. Jadi saya sudah mulai bisa membedakan motif terdalam dari suatu stimulus, dan saya paham bahwa keinginan yang timbul itu adalah berasal dari daging (alarmnya bunyi nih), namun si daging itu menuntut banget untuk saya penuhi, maka saya menyerah, dan tanpa berpikir lagi, saya penuhi dahaga daging itu.


Nah setelah memenuhi hal ini, saya lalu merasa kepekaan untuk merasakan asal muasal stimulus menjadi lemah (atau hilang?). Saya menjadi cerobih untuk bertindak dan berkata-kata tanpa berpikir panjang. Dengan kata lain, dari lubang pemberontakan kepada Allah yang satu, saya terjerumus ke pemberontakan yang lain. Padahal kalau dipikir, antara pemberontakan yg awal dengan yg setelahnya sama sekali tidak berhubungan.


Mengapa demikian? Saya mengambil kesimpulan karena si jiwa ini mulai berteman dengan daging (dari pemberontakan pertama itu), maka si jiwa ini menjadi terbiasa untuk mendengarkan dan menuruti stimulus daging, karena si jiwa menganggap si daging ini adalah temannya. Firewall yang dulu dipasang untuk menangkal daging perlahan-lahan mulai di non-aktifkan oleh si jiwa. Dan sebaliknya si jiwa mulai menjauhi si roh, tidak mendengarkan apa perkataan dan keinginan roh.


Bagi saya pribadi, ini merupakan pembuktian konkret dari Matius 6: 24.


Silakan berpendapat lho yaaa...

Kenyataan Yang Menguatkan

Posted in


Note: Btw setelah Anda membaca ini please don’t do this:


1. Menganggap diri saya lebih tinggi (dalam hal rohani) dari keadaan saya sebenarnya, saya manusia biasa yang hidup di dunia ini, artinya saya pun masih berjuang untuk mematikan ‘diri’ saya setiap hari.


2. Menganggap bahwa ini adalah kosmetik. To be honest, saya tulus hanya mau berbagi aja kok. Tidak ada motif mencari pujian (makanya saya bilang di poin 1 seperti itu).



Akhir-akhir ini naik motor menjadi lebih menyenangkan. Kok bisa? Naik motor kan lebih banyak gak enaknya dibanding enaknya??? Iya sih, cuma mengapa saya bilang demikian karena saat mengemudi, pikiran bawah sadar saya banyak memunculkan hal-hal yang sangat dalam (menurut saya).


Tadi juga begitu, saat sedang menyanyi:


“Ya Tuhanku, aku hendak bermazmur bagi-Mu selagi ku hidup”


“Ya Allahku, aku hendak bernyanyi bagi-Mu selagi ku ada” (dalam hati saya berkata: “Ya Tuhan, saya mau itu dalam hidup saya, tidak hanya nyanyian kata-kata namun nyanyian hidup)


“Inilah yang kuserukan kepada-Mu, nyanyian, pujian, dan pengangungan kepada-Mu” (dalam hati saya: “Ya Tuhan, saya mau seumur hidup saya adalah nyanyian, pujian dan pengagungan untuk-Mu)


“Biarlah manis Kau dengar Tuhan…manis Kau dengar Tuhan” (dalam hati saya: “Ya Tuhan, saya mau hidup saya manis di hadapan Tuhan, memuaskan hati Tuhan, menyenangkan hati-Mu, and I really want to do it precisely”)


“Dan hatiku bersuka karena-Mu”


Dari menyanyikan lagu di atas, timbul suatu pemikiran ini: Ternyata kenyataan bahwa hidup kita ini harus memuaskan hati Tuhan, menyenangkan-Nya, manis di hadapan-Nya; akan memberikan kekuatan bagi kita dalam menjalani kehidupan ini dan segala peranannya. Setidaknya hal ini berlaku bagi saya.


Lucunya, dulu pada saat sedang salah asuhan, saya merasa mendapat kekuatan saat menyanyikan lagu-lagu yang menyatakan bahwa “Tuhan akan menolong, menggendong, menyembuhkan, mengeluarkan saya dari masalah”. Bener-bener bayiiiii banget.


Nah itu pengalaman saya, ada yang ingin berbagi pengalamannya? Feel free for share.

Menahan diri vs Mengendalikan diri

Posted in


Menahan diri vs Mengendalikan diri


Saat melihat judul di atas apa yang ada dibenak Anda? “Kok bisa???” Mungkin itulah kata yang akan muncul. Ya karena bagi sebagian besar kita kedua kata itu adalah serupa atau mirip bak saudara kandung. Padahal sesungguhnya sangat berbeda. Apa bedanya? Saya coba bedah ya, setajam silet (iklan..hahaha…)


1. Menahan diri adalah tindakan kompromi dengan hasrat/keinginan diri yang muncul menuntut untuk dipuaskan. Jadi seandainya ingin punya handphone, orang yang menahan diri akan kompromi dengan keinginannya itu dan berkata: “Nanti aja ya tunggu gajian” atau “Nanti aja nunggu hape yang ini dijual dulu”. Sementara mengendalikan diri adalah tindakan mematikan hasrat/keinginan diri tersebut. Untuk contoh yang sama, orang yang mengendalikan diri akan berkata: “Ah gw gak mau ingin itu”. Langsung dibunuh hasrat itu.


2. Menahan diri itu mirip seperti tindakan membuka pintu bagi pencuri. Meskipun tidak dipersilakan masuk, namun kemungkinan untuk dapat masuk dan menguasai rumah sedemikian besar karena tuan rumah sudah membuka pintu. Sementara mengendalikan diri seperti menutup rapat-rapat pintu bagi pencuri dan mengeluarkan ujung pistol dari lubang kecil yang mengarah ke kepala pencuri.


Baru ketemu yang dua itu, kalo menurut Anda gimana? Feel free to share!


Duh Keinget Lagi!

Posted in


Well…isi arikel kali ini masih terkait dengan artikel sebelumnya, "Pesan dari Pooh". Jika belum sempat melihatnya silakan klik di sini.


Jadi setelah kita menyadari bahwa yang penting adalah bagaimana kita menjalani sisa hidup kita di dunia ini untuk berkenan di hadapan Tuhan/mengerjakan keselamatan, maka kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa setiap peranan dalam hidup yang sedang kita jalani itu adalah pelayanan kita. Maka yang dimaknai sebagai pelayanan bukan lagi hanya saat: Menjadi kolektan, menjadi pemusik Gereja, WL, singer, pengkhotbah, guru Sekolah Minggu, dan sebagainya. Namun yang dimaknai sebagai pelayanan kita kepada Tuhan adalah peranan kita sebagai:

- Kepala keluarga bagi keluarga kita

- Suami/istri bagi pasangan kita

- Ayah/Ibu bagi anak-anak kita

- Anak bagi orang tua kita

- Adik/Kakak bagi saudara-saudara kita

- Om/Tante bagi keponakan kita

- Cucu bagi kakek nenek kita

- Karyawan di kantor

- Pemilik usaha yang harus memberikan penghidupan bagi karyawan-karyawan kita

- Pimpinan bagi para anak buah kita

- Bawahan dari atasan kita

- Tetangga di lingkungan kita

- Ketua RT atau RW di lingkungan kita

- Dsb


Banyak banget kan? Itulah ladang pelayanan kita kepada Tuhan. Jika kita begitu ingin menyenangkan hati Tuhan, maka seharusnya kita melakukan yang terbaik/termaksimal dalam setiap peranan kita itu. Tapi apakah mudah? Tidak.


Karena si iblis tidak rela melepaskan kita begitu saja, dia selalu berusaha menjatuhkan kita. Salah satunya dengan membangkitkan ingatan akan kenikmatan kita saat dahulu menghidupi manusia lama kita. Jika dulu kita dibelenggu dengan keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup, maka setelah kita bertobat dan berkomitmen hidup berkenan di hadapan Tuhan, tidak otomatis membuat kita bebas dari godaan untuk kembali hidup dalam belenggu tersebut. Malahan (IMO) godaan itu semakin besar, hal peristiwa sekecil apa pun bisa menjadi celah agar godaan itu masuk. Cuma bedanya dengan keadaan dahulu saat hidup di manusia lama adalah: Saat ini kita sadar bahwa kita mempunyai pilihan untuk mau/tidak memuaskan diri kita sendiri dari godaan tersebut. Sementara kalau dulu kan kita manuut aja saat menerima godaan tersebut.


Contoh ya: Saat melihat iklan gadget terbaru, bisa aja timbul niat untuk membeli gadget tersebut, (karena mengingat kenyamanan saat menggunakan gadget itu, prestise atau pujian yang diterima karena memakai gadget tersebut, dan kenikmatan diri karena menggunakan gadget itu) meskipun gadget yang ada saat ini sebenarnya sudah memadai untuk dipakai melakukan setiap aktivitas saya. Dan saat ke kantor, orang-orang seisi kantor pun ramai membicarakan berbagai kelebihan gadget baru itu, dan saat makan siang saya pun melihat merk gadget itu sedang melakukan pameran, makin tebel aja kan tuh godaannya? Tapi tetep aja keputusannya ada di tangan saya untuk membeli atau tidak.


Coba ganti contoh godaan keinginan mata di atas dengan godaan khas: Keinginan daging (libido seks dan kerakusan akan makanan), keangkuhan hidup (mendapatkan pengakuan). Polanya mirip-mirip deh, diri kita dibawa kepada ingatan akan kenikmatan kita saat dahulu memuaskan diri.


Bagaimana menurut Anda? Please feel free for sharing and comments.


Sumber gambar: Google.co.id

Pesan Dari Pooh

Posted in


Tadi saya dan keluarga besar menonton Kungfu Panda untuk ke 2 kalinya, ya kedua kali karena memang yang kedua ini bersama dengan ponakan. Dan karena kedua kali, maka tontonan kali ini bisa lebih fokus kepada pesan-pesan yang terkandung dalam film itu, dibanding saat pertama kali yang dipenuhi dengan tawa yang membahana.


Ada satu pesan yang menancap cukup dalam bagi saya, sehingga saya merenunginya. Yaitu adegan-adegan terakhir saat si Pooh (panda endut itu) berkata: “Yang penting bukan masa lalumu yang pahit, tapi hal kamu akan menjadi apa di masa depan”. Daleeeem bangeet!


Bagi saya, jika ditranslate ke perjalanan hidup saya sebagai Kristiani, maka kata-kata itu akan menjadi: “Yang penting bukan kehidupan manusia lama kamu yang rusak oleh berbagai dosa yang kamu lakukan untuk kepuasan diri kamu (karena saat kita melakukan sesuatu untuk kepuasan diri kita itu sama dengan dosa, memberontak kepada Tuhan), itu masa lalu yang Tuhan sudah ampuni saat kamu sadar, mengaku, menyesal dan bertobat. Yang penting adalah bagaimana kamu menjalani sisa hidup kamu di dunia ini selanjutnya: Menjadi manusia Allah seperti yang telah dirancang-Nya bagi manusia pada mulanya dengan role modelnya Tuhan Yesus ATAU justru memberontak kembali pada Tuhan?”


Saya percaya, bahwa dalam setiap langkah kehidupan kita Tuhan selalu berbicara, yang perlu kita lakukan adalah mempunyai kepekaan untuk memahami dan mendengar suara-Nya. Jadi komitmen apa yang sudah kita ambil untuk menjalani sisa kehidupan kita ini?


Sumber gambar: Google.com

Dejiiig!

Posted in


Guys, (yes it is for you all man in this wold) pernah merasa sebel dan kesel sama pasangan gak? Kalo sudah menikah, tentu rasa negative ini ditujukan kepada istri. Well, saya pernah lho. Ceritanya, karena suatu masukan yang ditolak oleh istri, saya merasa istri tidak menghargai saya. Langsung kesimpulan ini didapat tanpa melakukan penelaahan lebih mendalam. Ujung-ujungnya saya merancang serangkaian aksi untuk memperbaiki attitude istri tercinta ini.


Padahal, selain saya tidak menelaah kesimpulan saya lebih mendalam, saya telah ditipu oleh hati/perasaan saya sendiri. Maksudnya? Begini, motif saya merancang rencana untuk memperbaiki sikap buruk istri saya tersebut adalah terdengar baik bukan? Padahal terselip hal jahat di dalamnya. Apakah itu? Saya ingin membalas kepada istri saya, dan menunjukkan: “Who is the boss!” Is it nasty or what?


Memang ya, manusia itu bodoh, bahkan bisa ditipu perasaannya sendiri. Mengapa bisa demikian? Yah pasti karena manusia sudah jatuh dalam dosa yang disebabkan pertama kali oleh ketidaktaatan Adam. Memang untuk orang Kristen, meyakini bahwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib telah menebus semua dosa-dosa kita. Namun itu tidak secara otomatis kita langsung menjadi malaikat lho, menjadi 100% baiiiiiik banget. Ada perjuangan yang harus kita lakukan untuk mengalahkan kodrat dosa di daging kita ini, dan kehidupan di dunia ini lah perjuangan itu harus dilakukan setuntas-tuntasnya. Sehingga pada saatnya nanti (entah meninggal atau kedatangan-Nya yang kedua kali) kita berada pada kondisi yang sesuai standarnya Tuhan untuk masuk Kerajaan-Nya.


Jadi jangan pikir karena Tuhan Yesus sudah berjuang sampai mati di kayu salib, maka kita tidak usah berjuang juga. Kita juga mesti berjuang. Selamat berjuang guys!


KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Powered By Blogger