Welcome Message

Mengapa kita hidup di dunia ini? Untuk apakah kita hidup di dunia ini? Pertanyaan mendasar yang jawabannya akan menentukan cara kita hidup, dan bagaimana kita hidup. Apakah bermakna atau sia-sia...

twitter

Follow on Tweets

Duh Keinget Lagi!

Posted in


Well…isi arikel kali ini masih terkait dengan artikel sebelumnya, "Pesan dari Pooh". Jika belum sempat melihatnya silakan klik di sini.


Jadi setelah kita menyadari bahwa yang penting adalah bagaimana kita menjalani sisa hidup kita di dunia ini untuk berkenan di hadapan Tuhan/mengerjakan keselamatan, maka kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa setiap peranan dalam hidup yang sedang kita jalani itu adalah pelayanan kita. Maka yang dimaknai sebagai pelayanan bukan lagi hanya saat: Menjadi kolektan, menjadi pemusik Gereja, WL, singer, pengkhotbah, guru Sekolah Minggu, dan sebagainya. Namun yang dimaknai sebagai pelayanan kita kepada Tuhan adalah peranan kita sebagai:

- Kepala keluarga bagi keluarga kita

- Suami/istri bagi pasangan kita

- Ayah/Ibu bagi anak-anak kita

- Anak bagi orang tua kita

- Adik/Kakak bagi saudara-saudara kita

- Om/Tante bagi keponakan kita

- Cucu bagi kakek nenek kita

- Karyawan di kantor

- Pemilik usaha yang harus memberikan penghidupan bagi karyawan-karyawan kita

- Pimpinan bagi para anak buah kita

- Bawahan dari atasan kita

- Tetangga di lingkungan kita

- Ketua RT atau RW di lingkungan kita

- Dsb


Banyak banget kan? Itulah ladang pelayanan kita kepada Tuhan. Jika kita begitu ingin menyenangkan hati Tuhan, maka seharusnya kita melakukan yang terbaik/termaksimal dalam setiap peranan kita itu. Tapi apakah mudah? Tidak.


Karena si iblis tidak rela melepaskan kita begitu saja, dia selalu berusaha menjatuhkan kita. Salah satunya dengan membangkitkan ingatan akan kenikmatan kita saat dahulu menghidupi manusia lama kita. Jika dulu kita dibelenggu dengan keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup, maka setelah kita bertobat dan berkomitmen hidup berkenan di hadapan Tuhan, tidak otomatis membuat kita bebas dari godaan untuk kembali hidup dalam belenggu tersebut. Malahan (IMO) godaan itu semakin besar, hal peristiwa sekecil apa pun bisa menjadi celah agar godaan itu masuk. Cuma bedanya dengan keadaan dahulu saat hidup di manusia lama adalah: Saat ini kita sadar bahwa kita mempunyai pilihan untuk mau/tidak memuaskan diri kita sendiri dari godaan tersebut. Sementara kalau dulu kan kita manuut aja saat menerima godaan tersebut.


Contoh ya: Saat melihat iklan gadget terbaru, bisa aja timbul niat untuk membeli gadget tersebut, (karena mengingat kenyamanan saat menggunakan gadget itu, prestise atau pujian yang diterima karena memakai gadget tersebut, dan kenikmatan diri karena menggunakan gadget itu) meskipun gadget yang ada saat ini sebenarnya sudah memadai untuk dipakai melakukan setiap aktivitas saya. Dan saat ke kantor, orang-orang seisi kantor pun ramai membicarakan berbagai kelebihan gadget baru itu, dan saat makan siang saya pun melihat merk gadget itu sedang melakukan pameran, makin tebel aja kan tuh godaannya? Tapi tetep aja keputusannya ada di tangan saya untuk membeli atau tidak.


Coba ganti contoh godaan keinginan mata di atas dengan godaan khas: Keinginan daging (libido seks dan kerakusan akan makanan), keangkuhan hidup (mendapatkan pengakuan). Polanya mirip-mirip deh, diri kita dibawa kepada ingatan akan kenikmatan kita saat dahulu memuaskan diri.


Bagaimana menurut Anda? Please feel free for sharing and comments.


Sumber gambar: Google.co.id

Comments (0)

Posting Komentar

KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Powered By Blogger